
Banyuasin – Keluhan masyarakat kembali mencuat terkait kualitas air minum dalam kemasan cup bermerek AO yang beredar di pasaran. Produk tersebut ditemukan dalam kondisi keruh dan kotor, meskipun tercantum masih dalam masa berlaku atau belum kedaluwarsa.
Kasus ini bukan yang pertama. Pada tahun 2024 lalu, produk air minum AO juga sempat dilaporkan bermasalah karena kualitas air yang dianggap tidak layak konsumsi. Hal ini memicu kekhawatiran publik akan keselamatan dan standar mutu produk yang dikonsumsi sehari-hari.
Saat dikonfirmasi, manajemen AO yang diwakili oleh Bapak Y selaku Manajer Pemasaran dan didampingi oleh Humas AO, Bapak S, membenarkan bahwa air minum bermasalah tersebut adalah produk perusahaan mereka.
“Benar, itu produk AO. Namun kami menduga kuat produk yang ditemukan kali ini berasal dari batch tahun 2024 yang sebelumnya telah kami identifikasi bermasalah,” ujar Bapak S.
Ia menambahkan bahwa proses penarikan produk dari pasar belum berjalan optimal.
“Sejauh ini, penarikan baru mencapai kurang dari 50 persen. Distribusi produk yang luas membuat proses ini tidak mudah. Namun, apabila terbukti bahwa produk keruh yang ditemukan adalah dari batch produksi tahun 2025, maka kami siap bertanggung jawab penuh dan memberikan kompensasi kepada konsumen,” tegasnya.
Pernyataan tersebut memunculkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat, khususnya terkait tanggung jawab produsen dalam memastikan standar kualitas dan keamanan produk sebelum beredar di pasaran.
Dalam perkara ini, pihak AO berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terutama:
Pasal 8 ayat (1) huruf a: Melarang pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan.
Pasal 8 ayat (1) huruf b: Melarang memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan keterangan yang tercantum pada label atau etiket.
Pasal 19 ayat (1): Menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerusakan atau kerugian akibat produk yang dikonsumsi konsumen.
Apabila terbukti terjadi kelalaian dan produk menyebabkan gangguan kesehatan, kasus ini juga dapat dijerat melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta sanksi dari BPOM dan pelanggaran terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk air minum dalam kemasan.
Menariknya, pada tahun 2024, produk serupa sempat diuji oleh laboratorium BPOM. Meski secara hasil dinyatakan higienis, warga tetap meragukan keabsahan hasil tersebut karena kondisi fisik air secara kasat mata tampak kotor. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akurasi hasil uji laboratorium serta mekanisme pengawasan yang ada.
Masyarakat diimbau untuk waspada dan melapor ke otoritas terkait jika menemukan produk serupa di pasaran, demi menjaga kesehatan dan hak konsumen secara menyeluruh.(*)